Kamis, 04 November 2010

PERBEDAAN ANTARA IKHTILAF (PERSELISIHAN) DAN IFTIRAQ (PERPECAHAN)

Membedakan antara perpecahan dan perselisihan termasuk perkara yang sangat penting. Para ahli ilmu seyogyanya memperhatikan masalah ini lebih banyak lagi. Karena mayoritas manusia -terlebih para du'at dan sebagian penuntut ilmu yang belum matang dalam medalami ilmu agama- tidak dapat membedakan antara permasalahan khilafiyah dengan perpecahan! Kelirunya, sebagian mereka penerapkan

sanksi hukum akibat perpecahan dalam masalah-masalah ikhtilaf. Ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal. Penyebabnya tidak lain karena tidak tahu tentang hakikat perpecahan, kapankah perbedaan itu disebut perpecahan? Bagaimana terjadinya perpecahan? Siapakah yang berhak memvonis bahwa seseorang atau kelompok tertentu telah memecah dari jama'ah?

Oleh sebab itu, sudah sewajarnya mengetahui perbedaan antara perpecahan dan

perselisihan. Ada lima perbedaan yang kami angkat sebagai contoh.

Pertama : Perpecahan adalah bentuk perselisihan yang sangat tajam. Bahkan dapat

dikatakan sebagai buah dari perselisihan. Banyak sekali kasus yang membawa perselisihan ke muara perpecahan ! Meski kadang kala perselisihan tidak mesti berujung kepada perpecahan. Jadi, perpecahan adalah sesuatu yang lebih dari sekedar perselisihan. Dan sudah barang tentu, tidak semua ikhtilaf (perselisihan) disebut perpecahan. Maka dapat kita katakan :

Kedua : Tidak semua ikhtilaf disebut perpecahan ! Namun setiap perpecahan sudah

pasti ikhtilaf! Banyak sekali persoalan yang diperdebatkan kaum muslimin termasuk

kategori ikhtilaf, dimana masing-masing pihak yang berbeda pendapat tidak boleh memvonis kafir atau mengeluarkan salah satu pihak dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Ketiga : Perpecahan hanya terjadi pada permasalahan prinsipil, yaitu masalah ushuluddin yang tidak boleh diperselisihkan. Yakni masalah-masalah ushuluddin yang ditetapkan oleh nash yang qath'i, ijma atau sesuatu yang telah disepakati sebagai manhaj (pedoman operasional) Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Siapa saja yang

menyelisihi masalah di atas, maka ia termasuk orang yang berpecah dari Al-Jama'ah.

Adapun selain itu, masih tergolong perkara ikhtilaf. Jadi, ikhtilaf hanya terjadi dalam masalah-masalah yang secara tabiat boleh berbeda pendapat dan boleh berijtihad yang mana seseorang memiliki hak berpendapat, atau masalah-masalah yang mungkin tidak diketahui sebagian orang, atau ada unsur paksaan dan takwil. Yakni pada masalah-masalah furu' dan ijtihad, bukan masalah ushuluddin.

Bahkan juga sebagian kesalahan dalam persoalan ushuluddin yang masih bisa ditolerir menurut alim ulama yang terpercaya. Seperti halnya beberapa persoalan

aqidah yang disepakati dasar-dasarnya namun diperselisihkan rincian furu'nya, misalnya masalah isra' dan mi'raj yang disepakati kebenarannya, namun diperselisihkan apakah dalam mi'raj tersebut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

melihat Rabb Ta'ala dengan mata kepala atau mata hati ?

Keempat : Ikhtilaf bersumber dari sebuah iijtihad yang disertai niat yang lurus. Dalam hal ini, mujtahid yang keliru mendapat satu pahala karena niatnya yang jujur mencari kebenaran. Sementara mujtahid yang benar mendapat pahala lebih banyak lagi. Kadang kala pihak yang salah juga pantas dipuji atas ijtihadnya. Adapun bila ikhtilaf tersebut bermuara kepada perpecahan, tidak syak lagi hal itu tercela. Sementara perpecahan yang tidak berpangkal dari ijtihad atau niat yang tulus. Pelakunya sama sekali tidak mendapat pahala bahkan mendapat cela dan dosa. Maka dapat kita katakan bahwa perpecahan itu berpangkal dari bid'ah, menuruti hawa nafsu,taqlid buta dan kejahilan.

Kelima : Perpecahan tidak terlepas dari ancaman dan siksa serta kebinasaan. Tidak

demikian halnya dengan ikhtilaf walau bagaimanapun bentuk ikhtilaf yang terjadi diantara kaum muslimin, baik akibat perbedaan dalam masalah-masalah ijtihadiyah, atau akibat mengambil pendapat keliru yang masih bisa ditolerir, atau akibat memilih

pendapat yang salah karena ketidaktahuannya terhadap dalil-dalil sementara belum

ditegakkan hujjah atasnya, atau karena uzur, seperti dipaksa memilih pendapat yang

salah sementara orang lain tidak mengetahuinya, atau akibat kesalahan takwil yang

hanya dapat diketahui setelah ditegakkan hujjah.

1 komentar

PAKENJENG CHILD'S 5 November 2010 pukul 00.15

makasih atas materinya kang...! moga bermanfaat

Posting Komentar